Kamu Dan Bintang
Awalnya coba-coba, lama-lama merasakan sendiri efeknya. Kira-kira mirip satu testimoni dalam sebuah iklan waktu mulai mengenalmu. Dari satu jam menjadi dua jam. Dari dua jam menjadi tiga hari. Dari tiga hari menjadi empat minggu, lima bulan, sekarang memasuki tahun ke-4. Seandainya aku mengenalmu sejak awal, aku tidak perlu sibuk mencintai orang diam-diam dan terluka sendirian perlahan-lahan.
Mas bumi, sudahkah kuceritakan bahwa aku senang menatap bintang-bintang di langit yang jauh itu? atau sudahkah aku katakan bahwa warna langit bukan lagi abu-abu setelah kamu melangkah ke dalam hidupku?
Satu yang sulit aku jelaskan perihal kagum yang terlalu, suka yang menggebu, tidak kutemukan kata apa yang dapat mewakili itu. Namun, bagaimana jika kukatakan padamu aku temukan tenang setelah kamu dekap semalaman?
Barangkali kamu tidak akan percaya bahwa pada bintang-bintang yang jauh itu, aku melihat kita, kita yang menyusun cerita panjang yang tidak terputus, menghabiskan malam-malam panjang dengan obrolan yang menjadi nyanyian sebelum tidur.
Pada langitmu yang terlalu berawan, aku ingin menjadi angin yang menyapu segala beban yang kamu tampung sendirian, aku ingin segala cemas yang sudah kamu kemas tidak menetap terlalu lama, dan lantas menjadikannya hujan sebagai bentuk pelarian.
Aku bisa menjadi biru untuk langitmu yang kelabu, tapi aku tidak bisa menuang warna apa-apa jika kamu tidak bersedia menyediakan kanvasnya.
Sungguh mmas, pada setiap sendu yang menjadikanmu hujan, aku selalu ingin menjadi matahari yang bisa kamu temui untuk kemudian menciptakan pelangi.
Sejak saat itu, sejak saat di mana aku sangat menyukai menatap bintang-bintang, sejenak aku berpikir ingin menjadi bintang saja. Kamu tau, sayangku? di atas Kutub Utara sana, ada bintang yang tidak pernah terbit dan tidak pernah terbenam, tidak berpindah dan ia menetap, Bintang Utara namanya.
Untukmu, aku selalu ingin bisa menjadi apa saja. Sebab, kamu layak untuk mendapat segala hal yang baik di dunia.
Dan untukmu, aku ingin seperti Bintang Utara. Bedanya, aku tidak ingin menjadi petunjuk arah, tapi aku ingin menjadi rumah. Barangkali Bintang Utara memang bisa menuntunmu pulang, tapi aku bisa menjadi tempatmu pulang.
Aku ingin menjadi rumah yang menyambut setiap pulangmu, akan aku biarkan kamu merebah dan mengaku kamu lelah. Bersamaku, kamu tidak harus berpura-pura, denganku kamu tidak harus selalu menjadi kuat.
Padaku kamu bisa bercerita dan aku akan diam mendengarkan, barangkali dinding kamarmu telah banyak menemani tiap tangis tengah malammu, biar aku yang membasuh segala sedihmu dengan peluk.
Untuk tiap rumpang dan utuhmu, padaku kamu boleh untuk menjadi apa adanya, menjadi prabumi-ku, seutuhnya.